Falsafah Puasa
Assalamualaikum sahabat blogger,
berceritaku kepada tentang senandung retorika insan ihsan akal yang tak
selamanya merepresentasikan ihsan budinya, insan yang tak selamanya cukup
merefleksikan antara keduanya. Cukupkah dengan akal? atau hanya budi yang
menghantarkan manusia kepada kebahagiaan nyata walaupun bersifat transedental ?
sudah lah... aku cukupkan dengan perenungan kebahagiaan utopis supaya tabir
hidup tak terjebak dalam simpangan duniawi, materialis, hedonis. Apalah makna
hidup jika tiada yang urung terkendali tanpa melampaui diri dengan perenenungan
itu. Celakalah aku jika tidak melampauinya, lampuan yang tidak aku lampaui
apabila tidak dengan bantuan bulan suci itu, sucinya bagai melihat mata air
yang sangat jernih dalam pandangan, biru dalam imajinasi, putih dalam ruh manusia. Namun bulan itu hanya
satu kali dalam satu tahun.
Aku akan memulai menjabarkan
kepada kalian bagaimana cara menyentuhnya, bersabar menjamahnya kemudian, aku buka
setiap sisi sudut panoramanya, perlahan dalam menjejaki hakekatnya sampai pada akhirnya sungguh telah sampai padanya, hidangan
ternikmat Allah S.W.T yang diberikannya, seandainya manusia dapat mengambil
hakekat maknawi terhadap suasana bahsar atau bashirah bahwa “setiap lekuk tubuh yang rasis ini, saling berkomunikasi
non-verbal dan mengkoordinir kepastian akan kelemahannya yang seakan berterima
kasih kepadanya, didalamnya terdapat rona merah,hitam,ungu, hijau dan putih diberikanlah sebuah kelemahan olehNya untuk tidak menutup diri
bahwa keharusan selalu berada pada hakekat manusia sesungguhnya namun hanya sedikit rasanya
pengambilan hikmah melalui budi, sungguh luas sekali bagaikan lautan luas tanpa
daratan. Aristoteles mengatakan “Tubuh manusia adalah koruptif, hanya ada satu
yang suci dalam tubuh ini yaitu hati” kalimat tersebut menyuruh manusia untuk
menyucikan hati dan menjalar ke akal.
Hari ini diperintah untuk tetap basah terjun dalam lautan. Lautan tauhid dan makrifat bagi manusia yang ingin untuk mengesakannya dan menemukan wajahNya. Menahan rasa lapar dan haus ini disaat bulan suci, melemah keadaan fisik membangunkan dan menghidupkan keadaan hati untuk senantiasa merasa atas keagungan dan kebesarannya, mencoba membuka tabir penutup dalam diri, menggaungkan dzat dan sifatnya, mendasarkan sesuatu pada cinta, menghadirkan kasih sayang, melenyapkan nafsu dan kemurkaan, hingga keadilan absolut terasa disetiap manusia yang beriman kepadaNya, tiada kelas, tiada tirani, tiada penguasa, tiada cerita panjang untuk disimpan dalam lembaran sejarah perpustakaan, semua sama merasakannya. Kemudian pada akhirnya Sang Hakekat Cahaya lah dapat bersemayam pada hati manusia yang berusaha menyucikan hatinya. dengan satu kunci untuk membuka gembok gerbang Firdausi "SIAPAPUN ITU YANG INGIN DEKAT DENGAN ALLAH, IKUTI MUHAMMAD RASULULLAH" maka kekasihnya, Rasullulah S.A.W
pernah bersabda “Seandainya umatku tahu rahasia yang terkandung didalam bulan
suci ramadhan, pastilah mereka menginginkan ramadhan itu berjalan selama satu
tahun” cukupkah aku menginginkan engkau kembali wahai penunda rasa kenyang dan
birahi? Manusia yang terpenuhi berlebihan cenderung malas dan koruptif, menyukai kepuasan dunia yang berakibat
stagnan dan pasif. Sungguh kembalilah dalam kebasahan itu, basah dalam lapar, menjaga nafsu, dan mengikuti sifat sifat Nabi Muhammad dan hatinya.
Kita manusia yang terpanahkan dunia, terhanyut mesrah, melekat dan menyatu, diburu takhta, tertawa dalam harta tak malu pada sang siang dan malam sedang hati kecilnya menangis dan pilu, hati kecil berusaha mencari jalan untuk kembali kepada sang cinta, hati itu sedang mengarungi dan jatuh lagi. Andaikan manusia mengerti hati kecilnya, hati suci yang takkan pernah menghilang, hati yang tidak pernah kecewa dan dusta bahkan bahagia sehingga hati kecil itu menjadi misteri bagi manusia, baik manusia dalam durjana tau beradab, hati kecil tak merasa terkhianati dengan perilaku manusia. Meskipun dunia manusia semuanya menghilang tak akan ada kecewa bagi hati kecil, ia akan menuntun perihal hidup dimasa mendatang bertemu dengan Allah SWT.
Jika bersandar pada sang siang dan malam pada lantunan dzikir dan sholawat terasa terbang dengan kenyataan bahwa langit
terpijak mudah, bahwa akan sampai pada kebahagiaan. Rasa ingin terbang kembali
dan tak mau kembali dalam pijakan kaki, sungguh pengandaian tentang nikmatnya
dzikir siang malam pada bulan itu, namun titik beratnya terdapat pada konsistensi terhadap ciptaannya yang dipasangkan laki-laki dengan perempuan untuk beribadah
kepadanya yang menghantarkankanya menjaga segenap tubuh rasis ini untuk tidak
menghinanya dengan memandang selainNya. Tak sanggup bahwa
aku telah berdosa memandang wajah selain wajahNya. Kucupkan dengan
menyimpannya dalam jiwa, hati dan budiku, karena ia telah berada pada posisi yang
tepat, dimana posisi itu suci dalam seluruh tubuh manusia.
Tentang hati, ibarat juwita yang indah wajahnya dan kemayu menghamparkan sejuta lamunan cinta yang selalu mekar mewangi tak akan pernah layu. Hati adalah harapan hekakat dan makrifat pada setiap manusia dengan kondisi kehidupan yang penuh dengan tantangan dan meletihkan. Ketika hati telah jatuh atas nama cinta jangan berpaling dariku meskipun samar berikan kepadaku biarkan aku mengenalmu wahai Pencipta Alam Jagat Raya dan wahai Abal Qasim melalui sesuatu yang hal terbatas pada ruang dan waktu yakni bulan puasa ini.
Puasa ini yang
menemani dikala sepi, menjadi sahabat pengingat disaat nafsu tidak dapat dihindari, puasa menjadi rem disaat kebahagiaan melebihi batasnya, kesedihan melebihi kekecewaannya. Merebahkan
segala ratapan angan-angan, menuju puncak kebahagiaan itu. Sesungguhnya dunia yang hendak dicari itu pada akhirnya tak akan ditemui dan akan akan tersbesit membencinya, yang akan diraih pada akhirnya akan mengkecewa. Maka kembalilah dalam putih, lalu kembalilah bersih. Semuanya berat......
beratku meninggalkannya, jangan anggap aku berlebihan, tetapi
sungguh aku merindukannya, aku mecoba menjamahnya kembali saat bulan itu telah
berganti menjadi hari biasa euforianya tak sama,
serupa namun tak sama. Ahh... Yasudahlah.... Sahabat bloggerku, mari kita lihat
apa yang menjadi falsafah bulan puasa ini. Sejenak kita renungkan maknya
setiap detik demi detik, nilai apa yang diambil? Buah hikmah apa yang dapat
dipetik? sungguh banyak sekali.
Kenapa aku
harus lapar? Kenapa harus haus? jangan berhenti pada materi, mari kita lihat
pada kausalitasnya, pernahkah kita membayangkan bahwa kita akan menjadi manusia
jika tidak bersantap makanan sehari-harinya? apakah
yang terjadi jika manusia tidak makan? apakah tetap menjadi manusia seutuhnya?
- Menakar
Hidup sebagai pemimpin
Menakar hidup merupakan pengujian
hidup manusia di muka bumi sebagai khalifah dimuka bumi, didalam Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 30 Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
(ingatlah) tatkala Rabbmu berkata kepada malaikat , ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan di bumi seorang khalifah’. Berkata mereka, ‘Apakah Engkau hendak
menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah,
padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau?’. Dia
berkata, ‘Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” dalam
konteks ini apakah relevan manusia sebagai khalifah dengan hubungan puasa, menurut
Imam Al Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin “Sesungguhnya, kerusakan
rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa
disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta
dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan
mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta
segala persoalan.” Puasa merupakan ladang kawahcandra dimuka sebagai tempat
manusia untuk menggembleng kemampuan sebagai pemimpin yang tidak bersifat
keduniawian sehingga merasa dalam individu dapat mengontrol diri sendiri
sehingga menimbulkan aura positif dalam kepemimpinan, aristoteles mengatakan
hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak berharga, dengan puasa hidup
kita diuji secara badawi dan rohani.
- Mengatur
dinamika hidup
Pernahkan kita menjadi budak
perut ? sadarilah..., pernah menjadi budak tangan ? akuilah...., menjadikan mata
sebagai budak pemuas nafsu ? jujurlah.... Sungguh berpuasa mengajarkan kita
untuk tidak memelihara perilaku perbudakan dalam tubuh kita, berpuasa
mengajarkan kepada lekuk tubuh kita yang koruptif bahwa dalam kenyataan kita tetap dibelenggu
oleh perbudakan individual oleh tubuh kita masing-masing, lalu dimana letak
kebebasan ataupun liberty dalam hidup individu manusia ? toh, dalam hidup
manusia secara naluriah dan fitrah ternyata tetap dibelenggu oleh kemauan dan
nafsu sehingga diperbudaknya. Berpuasa itu memberikan jalan dalam mengatur
kebebasan dalam hidup entah dalam perspektif sosial,ekonomi,dan budaya, dengan
mengatur hidup tersebut tercipta dinamika hidup yang teratur.
- Menjadi
bijaksana dengan berpuasa
Siapa bilang bahwa hanya seorang
filusuf yang mencintai kebijaksaan ? bahkan dalam filusuf kebenaran tidak
menjadi pedoman, kebenaran menurut para filusuf merupakan jembatan menuju
kebijaksanaan. Puasa adalah jembatan menuju kebijaksaan, cobalah..... manusia
membutuhkan kesabaran dan ketahanan untuk menjadi bijak, kebijaksanaan dapat
dijabarkan dalam normatif tapi tidak seluas penjabaran empiris, penjabaran
empiris itu adalah berpuasa.
Maka..... Cobalah berpuasa,
jadikanlah teman dikala hidup, sahabat dalam menebarkan kebaikan hidup, dan
jadikan puasa sebagai falsafah hidup.
Komentar
Posting Komentar