Filsafat Cinta - Jalaluddin Rumi (1)



                Semakin banyak ilmu, semakin baik perilaku pribadi manusia, konsekuensi logisnya erat korelatif dengan amalan dan prilaku manusia, apabila dinamika pribadi manusia bertentangan dengan akalnya akan berakibatkan hidup yang gelisah. Dialah Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri,  lahir di  l 30 September 1207 Masehi, seorang sufi yang memberikan kontribusi besar bagi Islam di dunia, meskipun hari kita tidak dapat merasakan kontribusinya, namun hal yang nyata dirubah oleh buah pemikirannya. Pencipta tarian sufi (Darwis) sangat dicintai oleh kalangan barat baik pemikir dan tokoh agama seperti Paus Johanes XXIII mengatakan “Jika dihadapan Rumi saya harus tunduk dan patuh” dan pada tahun 2007 PBB memperingati hari 800 Rumi bahkan tahun tersebut menjadi penetapan tahun rumi.
Era millenials semakin banyak orang mengalami islamophobia, beranggapan islam itu keras dan sebagainya maka kita perlu menelaah pemikiran Rumi dalam gagasan autentik tentang cinta, dia yang bergelar maulana sangat cerdas pada zamannya, bertemu dan belajar dengan guru yang misterius bernama Syamsudin At Tabrizi (Syamsi Tabriz). Rumi sangat mencintai, kagum guru tersebut dengan guru tersebut beliau mendapatkan banyak sekali ilmu sehingga perlu menarik diri dari dunia ramai yang menimbulkan banyak fitnah dan membuat guru tercintanya tidak nyaman dan meninggalkannya. Rumi sangat sedih, depresi, ditinggal oleh orang yang dicintai, tentang gurunya tersebut tertulis dalam diwan dan syairnya seperti Isyamsi Tabriz tentang cinta untuk menutupi kerinduan yang sangat mendalam terhadap gurunya. “Seperti awan yang bergerak dibelakang matahari semua hati menyertaimu, O, matahari Tabriz!” (Divan-E Shams-E Tabrizi)
 Sebuah kisah indah, saat Rumi bercerita bersama gurunya Syamsi Tabriz pada malam hari, ditengah obrolan gurunya menyuruh Rumi membeli arak untuk diminumnya bersama, sungguh Rumi terheran, kaget dan berdalih “ bagaimana guru, kalau saya bertemu orang-orang bahwa seorang wali membeli arak, ya malu tuan guru ? ” Gurunya mejawab “ Kamu mau tidak ? kalau tidak mau jangan jadi muridku ! ” padahal kedai arak terdapat tepat pada perkampungan nasrani, saat itu Rumi pasrah mengikuti perintah guru dan mengaturnya, dalam perjalanan menuju kedai arak itu Rumi dengan menggunakan jubah besar sehingga tidak nampak wajah dan tubuhnya berjalan dan membelinya, ketika berjalan pulang dengan tergesah-gesah, na’as Rumi diketahui oleh mereka orang nasrani dan mengikutinya dari belakang, pada saat hampir tiba didepan masjid orang nasrani tersebut berteriak dan mengatakan “Hei lihat, wali kalian, sufi kalian membeli minuman keras, wali palsu” sontak warga sekitar menghampiri dan mengambilnya dari dalam jubah besar Rumi, dan dipukulnya ramai-ramai. Setelah itu gurunya Syamsi Tabriz datang ditengah kerumunan mengatakan “Kalian semua salah paham, itu bukan arak namun air putih biasa, silahkan dicek” akhirnya mereka sadar bahwa air itu adalah air putih. Dalam cerita ini Syamsi Tabriz mengajarkan kepada kita bahwa Hei, Rumi apa yang kamu banggakan apakah status,nama besar,kewalian, penghormatan orang lain ? apakah benar  mereka menghargai, menganggap kebesaranmu ? tidak ada... dengan botol kecil saja dirimu dipukuli. Jadi tidak ada kebanggan, kebesaran, maka jangan menyombongkannya.
Langsung saja sahabat blogger kita telaah pemikirannya, gagasan pertama dasarnya adalah “melampaui yang lahiriah” segala sesatu yang nampak didepan kita, bukanlah hakekat sesatu yang sesungguhnya, hampir semua sufi berpendapat seperti itu, yang lahir itu tidak sejati yang tampak tidak abadi. Rumi mengatakan “ yang tampak dari bumi adalah debunya, namun dibalik debu itu adalah sifat-sifat tuhan yang mengejawantah, dimensi dalamnya adalah emas permata sementara dimensi luarnya adalah sebongkah batu” dalam hal penekanan ini janganlah kita memandang dari balik lahiriah karena rohaniah lebih penting, dalam hidup kita berada pada esensinya bukan eskistensinya. Eskistensinya mungkin dapat menipu namun tidak dengan esensinya yaitu cinta, maka jangan tertipu oleh yang fisik, keluarlah dari bentuk dan gapailah maknawi. Kita anggap debu adalah kotoran, bahkan ada yang lebih kotor dari pada debu, kita anggap lahiriah kacamata teradapat kaca, plastik, lem, maknanya adalah sarana baca, dia menjadi bermakna karena terkandung hal bermakna yang terkandung, teh adalah minuman yang berujuan agar haus hilang, menghilangkan haus itu makna dibalik air berwarna coklat, haus yang hilang lebih penting dari pada teh tersebut, jika kulitas tes tidak dapat menghilangkan haus, maka teh tersebut hilang secara maknawi. Hati-hati jangan tertipu, banyak hal yang kamu anggap sebagai penyebab, sebenarnya hijabbanyak yang lahir kita anggap sebab seperti baju membuat kita tampan, amal baik membuat kita masuk surga, kata Rumi yang kita anggap sebab bahkan dapat menjadi hijab yaitu yang menghalangi bahkan menjauhkan kita. Seolah-olah dengan diri sendiri kita beramal, kita menjadi tentram, maka sisi ketuhanan dan peranan tuhan kita jauhkan akibat sebab itu, amal kita adalah sebab, dengan anggapan kita beramal tuhan akan mengasihi, hal itu yang seakan-akan memerintah tuhan, dan seakan-akan kita yang mengarut alurnya, ingatlah ini yang Rumi sebut hijab yang menjauhkan diri kepadanya. Jika manusia dianggap manusia dari lahirnya maka muhammad dan abu jahal sama, sama-sama mengunakan bahasa arab, berjenggot, pakai jubah, yang membedakan adalah rohaniahnya, sekali lagi lampui lahiriah dan jangan tertipu oleh lahiriah.
Untukku olehmu selaku manusia atau hamba tuhan “jangan anggap aku sebagai apa yang kamu rasakan oleh pikiranmu adalah manusia yang terbungkus oleh daging, anggaplah aku bunga sebagai taman bunga, bunga yang saling simbiolisis mutualisme, tolong lihatlah aku dari segi maknawinya, jika kamu anggap aku bunga sebagai aspek yang indah, maka maknawiku engaku hilangkan dan engkau hancurkan dengan mudah karena perasaanmu dan pikiranmu, hadirkanlah ruh kebaikan itu dan tanamkan padamu sehingga aku tak merasa perlu menggunakan redaksi kata sahabat, kawan, teman, saudara ataupun kekasih, untuk berada dalam sisimu, karena kita telah menjadi satu melebur dalam cinta kasih, dan basah dalam lautan bersama yaitu lautan cinta “
Gagasan kedua yaitu “Manusia sebagai Mikrokosmos”  Rumi berpendapat bahwa manusia adalah mikrokosmos (alam Saghir, alam kecil) yang mampu menyerap mikrokosmos (alam Kabir, alam besar) ketika paham keduanya maka kita akan kenal tuhan karena alam semesta ini adalah manifestasi dari semua sifat tuhan “ Tuhan maha penyenyang, tuhan maha adil, tuhan maha teliti, tuhan maha adil, tuhan maha besar, tuhan maha bijaksana, tuhan maha segalanya” hakekatnya kita dan alam adalah hal yang sama, kita tidak dapat bertahan hidup dalam alam.
-Janganlah Kau seperti Iblis, Hanya melihat air dan lumpur kietika memandang adam. Lihatlah di balik lumpur, beratus-ratus ribu taman yang indah! – (Jalaludin Rumi)
                Tafsir korelasi kalimat diatas adalah bahwa banyak manusia dimuka bumi landasan berfikirnya su’udzon, cara berfikir beranggapan orang lain jelek yang menurutnya berebeda dengan dirinya, sedikit kebencian dengan manusia maka manusia tersebut buruk selamanya (janganlah kau seperti iblis) jika kamu memandang seperti itu, kamu termaksud mengahapuskan entitas ruh tuhan pada manusia, meskipun orang tersebut jahat. Sesungguhnya di orang jahat ini terdapat ruh allah meskipun ruh tersebut sedang terhijab oleh keburukan, maka perlu untuk melihat kedalamnya yaitu memaknai maknawinya dan tolonglah mereka manusia yang terhijab oleh kesesatan. Sekali lagi jangan seperti iblis melihat dari jeleknya saja, beratus-ratus ribu taman yang indah, jadi jangan mengina karena beberapa sisi manusia adalah baik, perampok itu baik karena merawat jasad yang dititipkan tuhan, perampok baginya salah satu jalan untuk menyuapkan sesuap nasi untuk anak dan istrinya, hanya saja jalan tempuhnya salah. Maling dan merampoknya sangat jelek, menyuapkan nasi ke anak dan istrinya baik, pertimbangkanlah sisinya dan tugas kita menolong mereka wahai sesama manusia minimal mengingatkannya.

Thanks to : Jalaludin Rumi   (1)
                   Fakhruddin Faiz (2)
                  Rizal Fatoni         (3) 

Komentar

Posting Komentar